
Restoran Puncak dan Pelajaran dari Khobar
Semua berawal dari niat kami untuk pensiun di Madinah. Walau masih 20an tahun lagi tapi kami sangat ingin bersiap-siap. Sejak tahun itu kami mulai serius membahas langkah-langkahnya. Membangun sesuatu yang bisa menjadi sponsor kelak.
Kemudian di akhir Oktober terjadi obrolan santai di restoran Indonesia di Riyadh. Seorang teman memperkenalkan kami pada pemiliknya. Dalam percakapan hangat itu, ia menyebut ada satu restoran Indonesia di Khobar yang sedang kolaps, sekarat, megap-megap seperti ayam kehujanan. Saya dan istri langsung saling lirik. Kami memang punya rencana buat buka restoran di Madinah, tapi mendengar kabar ini, kami mendadak merasa itu seperti sinyal dari langit—semesta minta kami belajar dulu sebelum terjun ke medan Madinah yang lebih menantang.
Khobar hanya sekitar 100 kilometer dari Jubail, tempat tinggal kami. Jauh lebih dekat daripada Madinah yang 1.200 kilometer jauhnya. Dalam perjalanan pulang, kami mantap: “Ayo, kita ke Khobar!”
Setibanya di restoran itu, kami langsung paham kenapa disebut kolaps. Restorannya sepi. Wajan berkarat. Aroma bumbu nusantara pun nyaris menguap entah ke mana. Pengelola lamanya curhat sambil sedu sedan: denda baladiyah menumpuk, ijamah pegawai mati, gaji telat, utang bahan baku dari toko sebelah sampai toko seberang. Bahkan katanya, sendok pun ada yang disita. Saya tidak tahu apakah itu hiperbola atau benar-benar terjadi.
Namun satu hal membuat hati kami mantap. Ini satu-satunya restoran Indonesia di Saudi Timur. Tempat orang Indonesia melepas rindu makan bakso walaupun kuah nya semakin sendu. Kami tak tega membiarkannya mati begitu saja. Maka kami niatkan, bukan sekadar bisnis, tapi misi kebangsaan—menyelamatkan rasa Indonesia di padang pasir.
Masalahnya, kami ini cuma pekerja. Iqama (KTP) kami tidak boleh punya punya bisnis di luar kontrak. Maka kami hubungi seorang kawan, yang secara legal bisa jadi pemilik. Kami sepakat: saya modalin duluan, nanti kalau dia ada dana, tinggal tambah. Pembagian 50:50. Dia jadi kafeel alias sponsor. Saya? Jadi penasihat alias konsultan bayangan. Seperti Batman. Tapi bukan untuk Gotham, melainkan demi nasi padang.
Kami mulai bergerak. Saya ajak kawan ini ke berbagai acara diaspora, termasuk bertemu Pak Dubes RI. Saya perkenalkan ke komunitas, saya latih SOP pelayanan, saya bahkan ajak dia cicip-cicip siomay, empek empek sampai sambal rica terpedas buatan dapur. Kami pasang sistem pembukuan digital, ciptakan menu baru, dan pelan-pelan pelanggan mulai berdatangan. Restoran yang dulunya sepi, mulai ramai. Pegawai yang dulunya bingung besok makan apa, kini bisa senyum—bahkan dapat bonus dan overtime. Saya pun ikut mencicipi hasilnya. Enak. Bukan cuma rendangnya, tapi juga bagi hasilnya. Sesuai kesepakatan, saya dan dia terima bagian sama. Serasa punya bisnis beneran, walau nama saya tidak pernah tertulis di papan restoran.
Tapi, seperti sinetron Ramadan, hidup tidak selalu happy ending.
Suatu hari, dia datang ke rumah dari Dammam ke Jubail, niat bagus. Tapi, wajahnya serius. Tidak bawa oleh-oleh. Saya langsung tahu, ini bukan silaturahmi biasa. Dia bilang, dia takut. Takut karena saya “pemilik bayangan.” Takut kalau nanti ada masalah hukum. Takut kalau ketahuan, bisnis ini bisa meledak… bukan secara omzet, tapi secara hukum.
Saya bingung. Bukankah dari awal kita sudah sepakati peran masing-masing? Saya bahkan tak pegang akses keuangan, bank, atau kas restoran. Semua saya percayakan ke dia. Tapi tetap, dia ingin saya mundur. Saya jawab, “Kalau kamu takut, biar saya aja yang ambil alih. Kamu saya bebaskan dari masalah. Saya ganti modal kamu dengan valuasi saat ini. Saya pikirkan bagaimana kepemilikannya. Deal?”
Dia tertegun dan kaget saya akan berikan tawaran balik seperti itu. Singkatnya dia kembali pulang tanpa deal apapun. Yang saya ingat, kita akan cari jalan keluar terbaik, semangatnya kami sepakat kalua saya harus dilegalkan.
Tidak mudah mencari cara untuk menjadi legal, pilihan Kerjasama memakai kafeel (sponsor local) memang sudah terbiasa menjadi alternatif. Tapi posisi ini, usahanya bukan illegal. Dia mengetahui dan menjalankan juga. Dia tau setiap halala keluar masuknya uang dan untuk apa uang itu keluar. Dia bukan pemilik bayangan, dia pemegang modal.
Namun, beberapa bulan kemudian secara tiba-tiba, setelah saya diskusi dimalam sebelumnya dengan dia kalau akan ada orang Indonesia, seorang engineer, yang akan membantu kita untuk mengembangkan ke Mekah, Madinah. Saya pagi harinya di tendang keluar dari semua akses… saya bingung, saya tanya, dia menjawabnya kemana-mana kami berargumentasi.
Ternyata dia gak siap. Bingung cari alas an kenapa saya dia tendang. Dia akhirnya bilang kata saktinya:
“Ini restoran saya. Namanya saya. Saya pemilik resminya.”
Saya diam. Agak tercekat 😶
Lalu dia menutup:
“…bisa-bisa kamu keluar dari Saudi.” 😞
Saya… menyerah.
Uang saya? Katanya itu milik Perusahaan. Dan Perusahaan itu miliknya. Nama dia disana secara legal..
Katanya saya sudah ambil dari setiap keuntungan. Uang saya yang dulu dipakai diawal, dipakai mengembangkan, dipakai menyelamatkan, bahkan ketika dia belum punya, tidak di akuinya. Dia tidak mau ditanya lagi soal itu…
Saya… menyerah. Saya kasihan dengan kasir yang tidak dalam seminggu dipulangkan. Memang ia tau banyak soal jeroaan restoran ini. Dia korban sesungguhnya. Maaf..
Saya tahu, mungkin secara hukum saya kalah. Tapi secara nurani? Saya tahu niat saya dari awal bukan cari untung semata. Ini soal menjaga cita rasa Indonesia. Soal menjaga tempat ngumpulnya para perantau. Maka dengan hati berat, saya lepaskan semua. Bahkan akses media sosial, sistem keuangan, kontrol pasokan bahan baku, semuanya saya serahkan.
Saya minta para pegawai tetap di sana. Karena mereka lah jantung restoran ini. Mereka yang bertahan dalam susah, mereka yang bangga menyajikan pecel lele di negeri kurma.
Tiga tahun saya belajar dari dapur restoran seluas 125 meter persegi ini. Belajar tentang manajemen, tentang selera pelanggan, tentang bagaimana mengelola usaha tanpa harus tampil. Saya jadi ghost buyer, inspeksi diam-diam, memastikan sambal terasi tetap punya rasa “pulang kampung.”
Apakah saya menyesal?
Awalnya kesal. Tapi sekarang lebih banyak bersyukur. Terbayang kalau kejadian ini malah terjadi sekarang.
Tidak semua pelajaran hidup datang dari seminar. Kadang datang dari dapur, dari wajan gosong, dari pegawai yang curhat belum bisa kirim uang ke kampung, dari pelanggan yang menangis makan rawon sambil bilang: “Saya kangen ibu saya…”
Dari Khobar, saya belajar banyak.
Dari “Restoran Puncak.” Tentang arti kebersamaan, tentang ketulusan, dan tentang kenyataan bahwa dalam dunia usaha, semua bisa berubah, tiba-tiba menjadi yang mendorong kita keluar.
Tapi tak apa.
Karena seperti kata pepatah Sunda yang tidak terlalu terkenal: “Ulah hariwang, sambel nu seukeut sok lila nyambung rasa.” (Jangan khawatir, sambal yang pedas biasanya meninggalkan rasa lebih lama).
Dan rasa yang saya tinggalkan di sana, insyaAllah akan tetap hidup. Meski nama saya tak tercatat di legalitas, tapi cerita ini akan selalu hidup… di hati, dan mungkin… di daftar menu spesial hari Jumat.
Kalau ada satu hal yang saya pelajari, itu adalah: tidak semua usaha butuh balasan. Kadang cukup kita tahu, kita pernah mencoba menjaga sesuatu yang baik… walaupun akhirnya bukan kita yang memilikinya.
Dan kalau Anda ke Khobar, mampirlah ke Restoran Puncak. Siapa tahu, aroma nasi goreng dan baksonya masih menyimpan sedikit rasa perjuangan kami dulu. Titip salam rindu kami.
